Gelar Konsorsium, Prodi PPI Usung Tema Globalisasi Budaya dan Identitas
Melihat minimnya kesejahteraan budaya dan identitas dalam lingkup nasional maupun internasional, Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam (FDKI) IAIN Kudus menggelar konsorsium dengan mengangkat tema, "Culture and Identity in Internasional Relations". Konsorsium tersebut dilaksanakan secara daring melalui ruang zoom meeting dan secara luring di Ruang Meeting FDKI, Selasa (18/07/2023).
Dihadiri langsung oleh Wakil Dekan I FDKI, Dr. Ahmad Zaini, Lc. M.S.I., konsorsium tersebut juga turut mengundang Palupi Anggraheni, S.IP, M.A. dan Nevy Rusmarina Dewi, M.A. sebagai pemateri. Konsorsium kali ini juga diikuti oleh mahasiswa Prodi PPI dan berjalan dengan lancar.
"Kali ini kita undang pemateri yang luar biasa, maka melalui tema yang kita angkat ini bisa menambah wawasan dan berkah bagi kita semua," harap Zaini dalam sambutannya.
Dosen Fisip Undip, Palupi Anggraheni selaku pemateri pertama mengungkapkan bahwa kebudayaan mengacu pada proses perkembangan spiritual atau intelektual. Sedangkan relativisme budaya menjadi pandangan bahwa standar etika dan sosial mencerminkan konteks budaya dari mana mereka berasal.
Selain itu, Palupi juga menyinggung politik global yang dikelompokkan nya menjadi tiga persoalan yaitu pertama, manzi (Cina), nilai-nilai tanpa kekerasan di India, dan Asean ways. Kedua, Menekankan pada penerimaan sosial, harmoni dan pendekatan tanpa kekerasan. Ketiga, nilai-nilai Neo-Konfusianisme di BRI, cara proliferasi nuklir India, dan kebijakan Asean di Rohingya.
"Negara kita kenapa bisa masuk ke Myanmar saat demokrasi Rohingya tidak berjalan, karena Indonesia masuk tidak membawa agama tetapi mengedepankan perdamaian. Dan negara Indonesia adalah negara panutan untuk penerapan Islam yang moderat," terang Palupi.
Senada dengan Palupi, Nevy Rusmarina Dewi selaku pemateri kedua menyinggung tentang demokrasi yang berada di Thailand. Kekacauan di Thailand pada 2020 silam telat menorehkan sejarah sebagai demonstrasi terbesar dan terlama, pasalnya harapan dari demonstran yang diprakarsai oleh kaum muda tidak mendapatkan hasil yang memuaskan.
"Kekacauan itu berawal dari penculikan aktivis demokrasi yaitu Wanchalearm Satsaksit di Kamboja. Dan generasi muda Thailand menuduh pemerintah yang telah melakukan penculikan," jelas Nevy.
Demonstrasi yang terjadi selama lima bulan itu melakukan tiga tuntutan, pertama yaitu pengunduran perdana menteri dan mendorong pemilihan baru. Kedua, pembubaran partai politik Future Forward yang menjadi aspirasi politik kaum muda. Dan ketiga, penghapusan hukum yang terkait monarki, dimana raja tidak bisa dikritik dan yang mengkritik mendapat hukuman 15 tahun.
"Kita di Indonesia walaupun banyak permasalahan demokrasi tapi masih mending dari pada Thailand," ungkapnya.
Melihat minimnya demokrasi di Thailand, Manushya Foundation menjadi organisasi yang mendukung penegakan demokrasi di Thailand. Adapun dukungan manushya dalam demonstrasi di Thailand adalah dengan memposting kilas balik demokrasi pada momentum demo 14 Oktober 1973, memuat berita dukungan pro-demokrasi, memberitakan dukungan biksu pro-demokrasi, mengkritik kebebasan informasi yang terbatas, dan permintaan pemerintah untuk memperhatikan hak asasi para demonstran.
"Yang tertarik dg demokrasi di Thailand itu hanya anak muda, bahkan kelompok artis itupun tidak pernah menyinggung demokrasi, padahal mereka adalah seorang publik figur," ungkap Nevy.
Tidak hanya bergerak pada penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), manushya juga melakukan kegiatan yang berkaitan dengan ekonomi, seperti pengangkatan UMKM. Manushya juga melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk kesejahteraan ekonomi di Thailand.
"Kalau Manushya Foundation hanya berfokus pada Demokrasi dan HAM tentu sudah dibubarkan oleh pemerintah, maka dari itu Manushya juga bergerak di bidang ekonomi," jelas Nevy. (Nada)