Membangun Kemandirian Demokrasi Membangun Kepedulian Pemilu
Memang benar setiap pengalaman yang kita dapat akan berbuah jadi ilmu pengetahuan baru. Bahkan pengalaman baru bisa membuat rasa penasaran yang menggebu-gebu. Biar penulis ceritakan sedikit. Selama tiga minggu, berhadapan dengan program kerja menjadi hal wajib bagi kelompok Praktik Pengalaman lapangan di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kudus. Kebetulan, tim kami membuat jurnal riset mengenai pengetahuan dan pandangan pelajar tentang pemilu. Dari hasil penelitian ini, entah kenapa penulis jadi penasaran sama kepemiluan.
Ini bukan tentang regulasi pemilu ataupun cara-cara pemilu. Ini tentang rasa penasaran penulis pada kemandirian demokrasi rakyat.
Jauh dari riset kami? Sebenarnya tidak. Karena pengetahuan dan pandangan tentang pemilu diperoleh dari kemandirian demokrasi masyarakatnya. Begitu juga sebaliknya, kemandirian demokrasi akan diperoleh jika masyarakat punya pengetahuan dan pandangan memadai.
Penulis sendiri disini mengartikan kemandirian demokrasi sebagai pengetahuan dan kesadaran yang membuat masyarakat akhirnya secara bebas dan sukarela terlibat dalam demokrasi. Salah satunya adalah pemilu.
Sejatinya, kemandirian demokrasi terwujud dari usaha rakyat itu sendiri, yang dikelola oleh rakyat, dan dipergunakan untuk rakyat dengan sebaik-baiknya. Terwujudnya kemandirian demokrasi ini adalah bukti masyarakat yang berbudaya politik partisipan (participant political culture).
Langsung saja pada kemandirian demokrasi di kepemiluan. Nampaknya, masyarakat belum memiliki budaya politik partisipan. Ini karena, bukan lain, kinerja partai poolitik dan pemerintah yang dianggap kurang. Kita ambil contoh, penelitian Indro Adinugroho dkk menunjukkan bahwa anak muda tidak puas dengan sistem demokrasi dan partai politik sekarang (Adinugroho et al., 2019).
Dan terkait pemilu, kita ambil penelitian dari Tuti Budirahayu dkk yang mengungkapkan bahwa kaum muda yang tidak memahami sistem pemilu lebih banyak dibanding responden yang paham (Budirahayu et al., 2014).
Ok, kini saatnya masyarakat bersama pemerintah membangun kemandirian demokrasi
Bersama ya, artinya masyarakat dan pemerintah bersamaan kedudukannya. Ini kiranya cukup idealis, karena menjadi sistem yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Tapi jika dinyatakan, mungkin definisi ‘masyarakat kita kan sudah pintar, cerdas’ akan lebih memiliki makna.
Upaya ini baru saja diluncurkan oleh Komisi Pemilihan Umum RI, lho. Pada 20 Agustus, KPU RI melaksanakan soft launching Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan. Program ini diinisiasi oleh KPU sebagai wadah pendidikan pemilih untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat pada gelaran pesta demokrasi.
Dalam Keputusan KPU RI Nomor 290/PP.06-Kpt/06/KPU/IV/2021, disebutkan bahwa desa peduli pemilu dan pemilihan adalah:
“Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan adalah desa, kelurahan, kampung atau sebutan lainnya yang setara yang masyarakatnya secara sadar mengedepankan kemandirian, rasionalitas, dan kedaulatan atas pilihan politiknya sendiri.”
Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan adalah salah satu bentuk pendidikan politik yang disediakan pemerintah. Harapannya, melalui pendidikan ini akan terbangun pemilih-pemilih kuat dan mandiri dari desa. Utamanya dalam menyambut pemilu tahun 2024.
Program ini akan dilaksanakan pada tahun 2021-2024. Pada tahun ini, dilaksanakan di 68 lokus. Artinya ada 68 desa/dusun/kelurahan dan lain sebagainya yang tersebat di 34 provinsi.
Di sisa 4 tahun menjelang pemilu 2024, KPU RI merencanakan 4 tahap pendidikan politik bagi Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan. Pertama, di tahun 2021 dengan tujuan meningkatkan pengetahuan tentang kepemiluan dan demokrasi. Serta meningkatkan pemahaman arti penting pemilu dan pemilihan. Kedua, pada tahun 2022 dengan tujuan menumbuhkan kepedulian dan kesadaran politik masyarakat. Ketiga, tahun 2023 untuk membangun kesukarelaan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses pemilu dan pemilihan. Keempat, Pada 2024 untuk mewujudkan iklim demokrasi procedural dan demokrasi substansial.
Tidak semua desa menjadi Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan. Sebab KPU Provinsi akan memetakan tempat kegiatan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu daerah dengan partisipasi rendah, daerah dengan potensi pelanggaran pemilu dan pemilihan tinggi, dan daerah rawan konflik/bencana alam.
Desa di Kabupaten Kudus belum mendapat prioritas pengembangan Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan.
Ya, di Kudus memang belum ada Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan. Tapi itu bukan berarti harus berpangku tangan begitu saja. Komisi Pemilihan Kabupaten Kudus mampu membuat kerjasama dengan pihak desa atau sekolah-sekolah untuk mengadakan pendidikan pemilih.
KPU Kudus telah memiliki program rutin berupa webinar dan podcast, sehingga hemat penulis, lembaga penyelenggara pemilu ini memiliki peluang besar menjalin kerjasama dengan sekolah melalui metode pembelajaran daring.
Penulis juga merekomendasikan program duta pemilu atau putra/putri sadar pemilu sebagai kader utama dalam pendidikan pemilih. Bukan hanya pada jangka waktu mendekati pemilu, tapi secara berkelanjutan agar pendidikan mampu berjalan simultan.
Namun dalam usaha pengembangan kemandirian demokrasi ini, yang terpenting bukan hanya memperbaiki pengetahuan rakyat. Tapi juga bagaimana membangun kepercayaan rakyat terhadap pemimpin dan calon pemimpin.
Upaya yang dilakukan bukan dengan melakukan publikasi pemimpin. Tapi memperbaiki diri pemimpin menjadi lebih berintegritas dan transparan. Penjaminan hak untuk didengar dan kebebasan berpendapat di ruang publik oleh masyarakat adalah salah satu caranya.
Penulis: Melina Nurul Khofifah