Kaum Milenial dan Demokrasi di Indonesia

Blog Single

Pergerakan kaum milenial saat ini dinilai memiliki peran penting dalam proses penguatan demokrasi. Hal ini disebabkan lebih dari setengah keseluruhan jumlah masyarakat Indonesia di dominasi oleh kaum milenial. Generasi ini dianggap sebagai bonus demografi bagi Indonesia karena lahir di era teknologi dan internet yang mulai berkembang pesat. Sebagai kaum yang mendominasi Indonesia, diharapkan para milenial ini lah yang akan menjadi ‘anak emas’ di masa sekarang maupun masa depan dalam membangun Indonesia.

Sebagai salah satu agent of change, kaum milenial tentunya mempunyai ketertarikan dalam berbagai hal, politik misalnya. Namun, jika diperhatikan, kondisi kepeminatan milenial akan politik dirasa menurun pada saat ini. Hal ini dikarenakan mereka memandang “politik” lebih cenderung sebagai alat tunggangan untuk perebutan kekuasaan oleh para pemangku kepentingan. Perspektif seperti ini tentunya harus diubah agar tidak menjadi kesalahpahaman sehingga ‘melek politik’ oleh milenial akan kembali bangkit.

Selanjutnya terkait demokrasi, banyak generasi milenial yang apatis terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. hal ini tentu saja tidak luput dari suatu alasan, diantaranya adalah mereka menganggap setengah dari demokrasi berisi tentang adanya politisasi agama, lalu sebagian lainnya berisi hoax, korupsi , radikalisme, kepentingan politik oleh para penguasa, dan lain-lain.

Untuk mengurangi perspektif-perspektif buruk tersebut, ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh para milenial salah satunya dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi saat ini. Seperti diketahui, para milenial merupakan generasi yang sangat mahir dalam menjalankan teknologi. Dengan kemampuan serta sarana-prasarana yang dimiliki oleh dunia teknologi saat ini, generasi milenial dapat dikatakan memiliki peluang yang sangat besar serta  potensi yang mumpuni sehingga diharapkan mampu selangkah lebih maju berada di depan generasi sebelumnya.

Dengan adanya teknologi, jalannya demokrasi dapat diawasi oleh para milenial dengan melakukan pengawasan (controlling). Melalui controlling, para milenial dapat mengetahui sejauh mana perkembangan demokrasi di Indonesia. Selain itu, melalui controlling, dengan langkah awal membuka ruang publik melalui media sosial, para milenial dapat menyuarakan serta mengedukasi pentingnya peran mereka (milenial) dalam terwujudnya pelaksanaan demokrasi yang lebih baik (Morissan, 2016).

Seperti yang sudah dinyatakan di awal, generasi milenial merupakan kelompok penting dan utama dalam demokrasi Indonesia saat ini, khususnya dalam bidang teknologi yaitu salah satunya aktifitas mereka di ragam media sosial (medsos). Secara emosional, milenial memiliki semangat yang sangat tinggi, cara berpikir yang luas serta memiliki mimpi yang besar pula. Hal itulah yang menjadi karakter dari para milenial yang sangat potensial dalam memajukan demokrasi yang tengah berlangsung (Nur Ainiyah, 2018).

Adapun sikap positif dari karakter milenial yang dapat kita ketahui, diantaranya mereka suka bekerja cepat, suka terhadap perubahan, kreatif dan inovatif, yang artinya mereka suka mengadopsi nilai-nilai atau sesuatu yang baru, kemudian fairness, yang artinya mereka segera mengakui kesalahan apabila merasa salah, baik yang terungkap maupun tidak bisa diungkapan dan mereka segera mengoreksinya.

Namun disisi lain, karakter milenial juga mempunyai sisi negative, diantaranya yaitu, mereka suka melakukan sesuatu secara cepat, cenderung tergesa-gesa dalam mengambil suatu keputusan tanpa melakukan analisa yang mendalam, dan mereka menyukai sesuatu yang ‘instan’. Selain itu, generasi milenial cenderung mudah galau, cepat putus asa, kurang mau mendengar, tingkat analisa yang rendah, pengalaman yang kurang, serta kurang bijaksana dalam menghadapi situasi dan kondisi di depannya. Selain itu, mereka mudah terpengaruh oleh lingkungannya baik lingkungan sosial sekitarnya maupun di lingkungan medsos.

Dikarenakan kurangnya pengalaman dan pendalaman ilmu yang dimiliki oleh generasi milenial, maka mereka dengan sangat mudah membenci bahkan memerangi orang lain yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan mereka. Jika dikaitkan dengan agama, dapat dikatakan bahwa mereka memahami agama hanya berdasarkan teks semata tanpa melihat konteks (asbabun nuzul) maupun substansi dari ayat-ayat dan ajaran agamanya. Sehingga mereka lupa inti dari ajaran agama itu sendiri, yaitu kasih sayang (rahmatan lil ’alamiin).

Dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia, sudah bukan menjadi hal tabu lagi bahwa dalam kehidupan demokrasi pasti terdapat adanya pro dan kontra. Jika dikaitkan dengan kehidupan milenial, salah satu karakter negative mereka yakni mereka hanya mau mendengar dan menerima pandangan yang dianggap sesuai dengan jalan pikiran mereka saja (pro), sedangkan jika dirasa sebaliknya maka mereka tidak mau menerima serta mendengarkannya (kontra).

Berdasarkan pemaparan diatas, lantas bagaimana seharusnya sikap generasi milenial dalam menyikapi dan menindak segala sesuatu hal di zaman modern seperti sekarang, yang diketahui sebagai eranya digital karena kemajuan teknologi informasi (IT)? Jika generasi dahulu sering diajarkan bahwa ketika sedang mengerjakan maupun menyelesaikan sesuatu, lebih baik dilakukan dengan pelan-pelan asal terlaksana, atau dalam istilah Jawa disebut sikap ‘alon-alon penting kelakon’ .

Namun, apakah istilah sikap tersebut masih berlaku bagi karater milenial yang pada dasarnya mereka suka melakukan sesuatu dengan cepat bahkan malah ‘instan’? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka istilah ‘alon-alon penting kelakon’ bisa dipadukan dengan karakter milenial yang ingin segala sesuatunya serba cepat namun juga terlaksana. Bagaimana caranya?

Pertama, generasi milenial harus mempunyai sifat selektifitas. Sifat ini lebih cenderung menjadi tameng bagi kaum milenial karena mereka dituntut untuk lebih selektif atau bisa dikatakan menyaring terhadap setiap informasi-informasi yang berkembang terutama informasi di dunia maya yang belum terverifikasi benar atau salah, baik atau buruk, atau masih samar-samar, semua itu perlu di cross check terlebih dahulu dan dicari balancing-nya. Pada akhirnya sifat selektif tersebut menjadikan diri milenial tidak mudah termakan provokasi isu pecah-belah, hoax apalagi isu-isu murahan. Begitupun sebaliknya, jangan sampai kebanyakan informasi tetapi menjadikan diri malah bingung sendiri.

Kedua, generasi milenial harus membekali dirinya dengan skill atau bisa dikatakan kemampuan. Dalam hal ini, milenial dituntut untuk mencari jati dirinya, salah satunya dengan menemukan skill yang sesuai dengan minat-bakatnya. Skill tersebut diharapkan berguna bagi milenial untuk menyeleksi informasi yang dibutuhkan.

Ketiga, generasi milenial perlu membekali dirinya dengan menanamkan serta mengembangkan sikap bijaksana dan ketenangan dalam menghadapi situasi dan kondisi yang berkembang, serta selektif terhadap  informasi yang beredar. Sehingga diharapkan dari sikap-sikap yang telah tersebut, generasi milenial tidak gampang menjadi pribadi yang emosional dan mudah hanyut dalam menanggapi isu yang berkembang terutama isu-isu yang sentimen seperti suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) serta isu pecah-belah lainnya (Nur Ainiyah, 2018).

Sebagai agent of change, generasi milenial merupakan kelompok penting dan utama dalam demokrasi Indonesia saat ini, khususnya dalam bidang teknologi yaitu salah satunya aktifitas mereka di ragam media sosial (medsos). Secara emosional, milenial memiliki semangat yang sangat tinggi, cara berpikir yang luas serta memiliki mimpi yang besar pula. Hal itulah yang menjadi karakter dari para milenial yang sangat potensial dalam memajukan demokrasi yang tengah berlangsung.

Namun ada sisi buruk yang menghinggapi generasi milenial zaman now, salah satunya yaitu karater milenial yang pada dasarnya mereka suka melakukan sesuatu dengan cepat bahkan malah ‘instan’ namun juga dapat terlaksana semuanya. Menanggapi hal tersebut, dapat ditarik benang merah apa saja yang harus ada dalam diri generasi milenial sekarang ini agar tidak terlalu terbawa arus.

Pertama, generasi milenial harus mempunyai sifat selektifitas. Mereka dituntut untuk lebih selektif dalam menyaring setiap informasi berkembang terutama informasi di dunia maya, mereka perlu meng-cross check setiap informasi terlebih dahulu dan dicari balancing-nya. Kedua, generasi milenial harus membekali dirinya dengan skill sesuai minat dan bakatnya untuk menyeleksi informasi yang dibutuhkan.

Ketiga, generasi milenial perlu membekali dirinya dengan menanamkan serta mengembangkan sikap bijaksana dan ketenangan dalam menghadapi situasi dan kondisi yang berkembang, serta selektif terhadap  informasi yang beredar sehingga mereka tidak mudah emosional serta hanyut dalam isu-isu sentiment seperti SARA dan isu pecah belah lainnya.

Penulis: Dina Aryani

Share this Post1: