Money Politics dalam Pemilihan Legislatif di Kabupaten Kudus Tahun 2019 terhadap Rakyat Kelas Bawah
Dalam pemilu, khususnya di Indonesia. Penggunaan politik uang yang berorientasi pada pemenenang calon kontestan dalam pemilihan legislatif dalam konteks berdemokrasi menjadi fenomena politik uang yang sering merisaukan kalangan pro-demokrasi. Cara penggunaan politik uang dalam pemilu dianggap tidak lazim dilakukan karena dalam proses pemilu dilakukan dengan cara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sistem pemilihan umum legislatif secara langsung tahun 2019 dan tahun sebelumnya membuka maraknya praktik money politics di Kota Kudus dengan mengatasnamakan bantuan, uang transportasi dan lain sebagainya.
Dalam situasi yang serba sulit seperti ini, uang merupakan alat kampanye yang cukup ampuh untuk mempengaruhi masyarakat guna memilih calon legislatif tertentu. Kecerdasan intelektual dan kesalehan pribadi tidak menjadi tolak ukur kelayakan bagi calon legislatif, tetapi kekayaan finansial yang menjadi penentu pemenangan dalam pemilu. Terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang sanksi pidana bagi pelaku politik uang, diantaranya Pasal 278, 280, 284, 515, dan 523 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sanksi yang menunggu pelanggar pun bervariatif, mulai dari sanksi pidana 3-4 tahun hingga denda Rp 36-48 juta dan tentunya diskualifikasi bagi pelaku.
Dalam perspektif sosiologi politik, fenomena bantuan politik ini dipahami sebagai wujud sistem pertukaran sosial yang biasa terjadi dalam realitas permainan politik. Karena interaksi politik memang menginginkan sikap seseorang untuk dipenuhi oleh penggarapan timbal balik (reciprocity). Dengan kata lain, relasi resiprositas merupakan dasar bagi terciptanya sistem pertukaran sosial yang seimbang. Money Politic sudah menjadi tradisi saat akan dimulainya pesta demokrasi/pemilu. Perilaku Money politic dalam, Perilaku money politics, dalam konteks politik sekarang, seringkali diatasnamakan sebagai bantuan, dan lain-lain. Pergeseran istilah money politics ke dalam istilahan moral ini secara tidak langsung telah menghasilkan perlindungan secara sosial melalui norma kultural masyarakat yang memang membiasakan tindakan itu terjadi. Tatkala masyarakat telah menganggapnya sebagai tindakan lumrah, maka kekuatan legal.
Secara umum money politic biasa diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan money politic sebagai tinadakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan.Secara umum money politic biasa diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan.
Terdapat pelanggaran Money Politic saat adanya pemilihan legislatif di salah satu desa di Kabupaten Kudus, dengan mengatas namakan sebagai “Bantuan”. Namun pelanggaran ini tak sampai ke ranah hukum dikarenakan kurangnya bukti untuk memenuhi unsur formil dan materil. Hal itu di sebabkan karena tidak adanya keberanian dari saksi dikarenakan takut, hal seperti itu menjadi sebab sulitnya untuk mendapatkan bukti. Kasus pelanggaran money politic yang sering terjadi tidak sampai masuk ke ranah hukum yang lebih tinggi. Selain kasus pelanggaran kampanye, terdapat kasus lain pada saat tahapan pelaksanaan kampanye. Dari sisi penerapan protokol kesehatan (Prokes) seperti pembatasan peserta kampanya, serta potensi berkerumun saat berkerumun menjadi sorotan. Sebenarnya banyak ditemukan kasus pelanggaran kampanye, tetapi kurangnya sanksi menjadi sulit untuk melengkapi berkas-berkas terkait kasus pelanggaran kampanye. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi masyarakat kelas bawah bersedia menerima dan terlibat dalam praktik money politic, antara lain yaitu: faktor ekonomi, pendidikan, tradisi dan foktor kesempatan.
Pemilihan Legislatif yang berlangsung di Kabupaten Kudus tidak pernah dapat dipisahkan dari money politics. Bentuk permainan money politics yang dilakukan meliputi pembagian uang tunai, sembako, dan sumbangan pada pembangunan fasilitas umum. Praktik ini melibatkan seluruh segmen masyarakat, namun masyarakat kelas bawah menjadi sasaran utamanya karena berbagai keterbatasan yang dimiliki sehingga mudah untuk terpengaruh. Perkunjungan langsung ke masyarakat adalah sangat diandalkan para caleg dan tim pemenangannya. Kemudian lebih dari itu masyarakat juga meminta uang atau dalam bentuk barang. Bagi sebagian masyarakat uang atau barang sebagai tanda jadi atau uang panjar untuk memilih caleg tersebut.
Menurut beberapa caleg yang sudah pernah mencalonkan diri pemilu sebelumnya, mereka mengatakan pada pemilu sekarang ini, politik uang sudah semakin menguat dan masif. Penyaluran uang dan barang terjadi dalam beberbagai bentuk seperti serangan fajar sebelum pemilih ke TPS, sebagian memberikan pada malam hari sebelum hari pemilihan. Kalau barang-barang disalurkan sebelum pemilihan, yakni berupa sembako, kartu asuransi, dll. Kemudian mereka yang sebelumnya anggota legislatif, memanfaatkan posisinya untuk memfasilitasi warga mendapatkan bantuan-bantuan sosial atau fasilitas infrastruktur
Secara ekonomis dalam praktik money politic, dapat membantu masyarakat kelas bawah untuk mencicipi. Sebenarnya masyarakat kelas bawah tidak tau akan dampak buruk berkepanjangan yang ditimbulkan dari money politic, tetapi tetapi praktik tersebut masih dilestarikan sampai sekarang. Ada akibat karena ada sebab, begitu juga permasalah yang satu ini, pasti ada penyebab atau latar belakang dari masih dilestarikannya money politics di setiap Pemilihan Umum Legislatif walaupun telah mencoreng esensi nilai-nilai demokrasi. Tentu saja pasti ada alasan mengapa masyarakat bersedia menerima uang atau materi lainnya yang diberikan oleh salah satu calon yang tidak bertanggung jawab tersebut. Tentunya hal itu tidak pernah jauh dari kodrat manusia yang tidak pernah cukup, pada kenyataannya memang manusia sangat menyukai uang sebab itulah kebutuhan pokok manusia dalam hidupnya.
Penulis: Aulia Nur Azizah