Menilik Perkembangan Naskah Ranperda Disabilitas Kabupaten Kudus
Melalui teleconference zoom meeting, Program Studi Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus menyelenggarakan konsorsium yang bertajuk “Bedah Naskah Akademik Ranperda Disabilitas Kabupaten Kudus: Kajian Teoritis dan Praktis” hari Jumat 29 Oktober 2021 pukul 08.30 WIB. Pada konsorsium tersebut menghadirkan sejumlah akademisi yakni Dr. Masturin, M.Ag. selaku Dekan FDKI yang akan bertindak sebagai pengantar, lalu narasumber-narasumber kenamaan diantaranya Anjas Pramono selaku penggiat disabilitas Kudus & penggagas ranperda disabilitas Kabupaten Kudus, kemudian Umi Qodarsasi, S.IP., M.A. selaku dosen PPI IAIN Kudus, dan Heny Kristiana Rohmawati, M.Pd.I juga selaku dosen IAIN Kudus. Konsorsium pada kesempatan ini dipandu oleh Dr. Siti Malaiha Dewi, S,Sos., M.Si.
Sambutan pertama diberikan oleh Dr.Masturin, M.Ag. Beliau memberikan informasi bahwasannya pada wilayah pantura raya, hanya di IAIN Kudus yang memiliki program studi Pemikiran Politik Islam, yang mana masuk dalam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam. Menyinggung soal ranperda disabilitas, Adanya acara ini dapat mengetahui aturan-aturan dan kebijakan publik yang terjadi mengenai disabilitas, ranperda ini juga harus dikawal oleh beberapa stakeholder khususnya para mahasiswa PPI karena memiliki wawasan terkait kebijakan publik. Beliau turut berpesan bahwa hasil dari konsorsium ini harus dijilid, tidak hanya konsorsium ini tetapi beberapa konsorsium yang dijilid sampai 12 kali dan harus mampu bersinergi kepada semua pihak dalam kebijakan publik.
Selanjutnya, pemateri pertama dari Anjas Pramono. Menurut beliau dalam menyikapi ranperda disabilitas, Kabupaten Kudus termasuk terlambat. Jika dibandingkan dengan Kabupaten Jepara, Kabupaten Jepara sudah memiliki ranperda disabilitas pada tahun 2018 dan sudah berada di meja dewan tahun 2019. Itu artinya, Kabupaten Jepara justru lebih dahulu daripada Kabupaten Kudus dalam membahas ranperda disabilitas. Padahal, secara jumlah keberadaan industri, Kabupaten Kudus lebih banyak dibandingkan Kabupaten Jepara. Namun, ranperda yang ada di Kabupaten Jepara belum disahkan. Menurut beliau, mungkin karena tidak menjadi prioritas atau masih ada perda-perda lain yang lebih mendesak.
Menurut Anjas, permasalahan utama atau elemen penting yang dibutuhkan oleh kaum disabilitas adalah soal ketenagakerjaan dan pendidikan. Dan beliau juga mengeluarkan pandangan bahwa melalui pendidikan, akan menemukan cara yang mudah untuk merubah kualitas pendidikan itu sendiri. Beliau juga mengatakan bahwa edukasi yang masih sangat minim terkait disabilitas di Kabupaten Kudus membuat diskriminasi, bullying, pelecehan verbal dan non verbal menjadi tidak terelakkan.
Anjas juga mengutarakan, kendala saat memproses naskah ranperda ini adalah tidak adanya keseriusan dari pihak para dewan legislator. Pada closing statement nya, beliau menyatakan suatu quote dari tokoh Pramoedya Ananta Toer sebagaimana bunyinya “Duniaku bukan soal jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya”.
Pada pemateri berikutnya, yakni Heny Kristiana Rohmawati, M.Pd.I. Beliau juga menuturkan kurangnya edukasi terkait kepedulian terhadap kaum disabilitas. Dalam pengamatan beliau, sejauh ini kaum disabilitas mayoritas memiliki usaha sendiri atau enterpreneurship untuk mencukupi kebutuhan dirinya serta keluarganya. Hal ini lebih dipilih oleh mereka karena sulitnya mendapat lapangan pekerjaan untuk yang diperuntukkan bagi mereka. Pada closing statement, beliau memotivasi kepada seluruh audien supaya dapat mengikuti jejak Anjas Pramono yang begitu menginspirasi dan menuai banyak prestasi baik akademik maupun non akademik, utamanya dalam hal memperjuangkan kaum-kaum minoritas atau tertentu.
Pemateri terakhir yakni, Umi Qodarsasi, S.IP., M.A. yang juga memiliki pengalaman dan pernah melakukan penelitian yang bersangkutan dengan disabilitas terkait partisipasi politik kaum disabilitas. Beliau menjelaskan beberapa hal seputar pengamatan beliau, dimana isu-isu disabilitas di negara berkembang termasuk Indonesia masih terpinggirkan, berbeda dengan negara majun seperti AS yang sudah memberikan kesamaan hak untuk kaum disabilitas.
Sama dengan pemateri-pemateri sebelumnya, kepedulian tentang disabilitas masih minim. Setidaknya ada tiga hal yang harus dipenuhi jika disabilitas tidak terpinggirkan, yakni lingkungan yang mendukung, adanya kebijakan sebagai payung hukum, dan pemenuhan aspek sosio-ekonomi. Dengan adanya suatu kebijakan yang telah ditetapkan, maka menjadi penjamin disabilitas dalam taraf kehidupan baik nasional maupun internasional.
Untuk itu, jika suatu kebijakan dapat didengar dan direspon oleh sistem politik, maka perlu adanya semacam demand (tuntutan), bisa berupa artikulasi kepentingan, advokasi, dan sebagainya. Pada closing statement nya, beliau menegaskan kembali harus ada kelompok kepentingan yang bisa melakukan advokasi, audiensi, public hearing. Yang mana untuk bersama-sama menggaungkan awarness disabilities di kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
-MAA, SLVN-