Pemilu, Ramadhan dan Persaudaraan
Sebagai bangsa dan negara yang besar, Indonesia baru saja menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan. KPU mencatat lebih dari 70% rakyat Indonesia, turut berpartisipasi dalam hajatan akbar tahun 2019 ini. Suka-duka turut mewarnai pemilihan presiden dan wakil presiden, serta legislatif itu. Suka karena bisa ikut berpartisipasi dalam pendidikan politik, duka karena tidak sedikit dalam proses pendidikan politik ini berakibat pada munculnya ego sektoral masing-masing. Antar sesama dalam satu keluarga bahkan bisa terjadi perselisihan terkait dengan perbedaan pilihan sebab di antara mereka memiliki kriteria yang berbeda satu dengan yang lain.
Dampak negatif pemilu seperti yang disebutkan di atas tentunya tidak diinginkan. Apalagi pada bulan suci ramadhan ini. Bulan dimana seluruh umat Muslim bersuka cita mnyambut dan meningkatkan ibadahnya. Satu alasan yang pasti adalah keinginan untuk mendapatkan pahala dan ridha dari Allah Swt. Akan tetapi, akankah ridha dan pahala itu dapat terwujud bila rasa persaudaraan tidak dapat tumbuh bersemi karena persoalan perbedaan politik? Sepertinya tidak. Oleh karenanya, perlu pemahaman bagaimana persaudaraan itu sebenarnya harus dibangun.
Rasulullah Saw. adalah tauladan yang begitu sempurna dalam hal ini. Fenomena peletakan hajar aswad bisa menjadi pelajaran bagi kita. Sepuluh tahun berselang, setelah pernikahan beliau dengan Siti Khadijah, kota Mekkah dilanda banjir hingga masuk ke area sekitaran Ka’bah. Para pembesar Quraisy khawatir banjir yang terjadi pada waktu itu akan meruntuhkan Ka’bah. Kekhawatiran ini memang sangat mungkin terjadi, mengingat kondisi Ka’bah yang dulunya belum beratap, dengan tinggi yang hanya sekitar sembilan hasta menyebabkan orang-orang dapat dengan mudah memanjat serta masuk ke dalamnya dan mencuri barang-barang berharga yang ada di dalam Ka’bah. Oleh karena itu, atas dasar pertimbangan keamanan dan keindahan, para pembesar Quraisy bersepakat untuk membangun kembali Ka’bah dengan terlebih dahulu merobohkannya, karena memang sebagian dari dinding Ka’bah telah rusak akibat banjir.
Setelah selesai membangun Ka’bah, pembesar Quraisy terlibat perselisihan besar hingga hampir berujung pada pertumpahan darah karena berebut untuk meletakkan hajarul aswad (Batu hitam) di salah satu sisi Ka’bah. Mereka saling berdebat dan berkata bahwa klan salah satu dari merekalah yang pantas untuk meletakkannya. Perdebatan ini diketahui oleh Abu Umayyah bin Al-Mughiroh Al-Makhzumy yang kemudian datang ke tengah-tengah kaum Quraisy (antar kabilah) untuk mendamaikan mereka. Tentu dengan mencari solusi, siapa yang akan meletakkan batu tersebut di Ka’bah. Abu Umayyah kemudian mengusulkan agar orang yang akan menempatkan Hajar Aswad itu ialah orang yang pertama kali memasuki Ka’bah dari pintu Bani Syaibah. Dan, atas izin Allah Swt. orang yang pertama kali memasuki Ka’bah lewat pintu Bani Syaibah itu adalah orang yang bernama Muhammad bin Abdullah. Maka semua golongan (kabilah) yang sedang bertikai setuju bila Muhammad yang dikenal sebagai al-amin itu menempatkan Hajar Aswad ditempat semula.
Rasulullah Muhammad Saw. kemudian minta sehelai kain, dan membentangkannya di atas tanah, lalu mengambil Hajar Aswad tersebut dan diletakkannya di atas kain itu, seraya berkata: Hendaklah sesepuh dan masing-masing kabilah memegang pinggir kain dan mengangkat Hajar Aswad yang diatasnya bersama-sama menuju ke tempatnya. Kemudian Muhammad menempatkan Hajar Aswad itu di tempatnya dengan kedua tangannya dan selesailah sudah pekerjaan itu. Dengan demikian masing-masing kabilah merasa ikut ambil bagian dalam meletakkan Hajar Aswad melalui pucuk kain yang dipegangnya.
Konsep Persaudaraan dalam Islam
Peletakkan Hajar Aswad pada salah satu sisi Ka’bah oleh Rasulullah Saw. yang melibatkan para pembesar kabilah Quraisy adalah sebuah gambaran bahwa Islam merupakan agama yang cinta damai dan mengedepankan persaudaraan. Praktik tersebut menjadi contoh bagaimana ukhwah dibangun tanpa menyakiti hati dan fisik orang lain. Bahkan dalam konteks ukhwah Islamiyah Rasullullah Saw. bersabda:
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radiallahuanhu, pembantu Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Tidak beriman (sempurna) salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Pada hadis di atas, setidaknya terdapat tiga poin penting yang dapat kita pahami. Pertama, mencintai menjadi salah satu bukti keberiman seseorang. Seorang yang beriman kepada Allah Swt. dan rasulullah Saw. akan membuktikan keimanannya dengan mencintai Allah Swt. dan rasul-Nya. Kecintaan tersebut diwujudkan melalui sikap takwa dalam diri seorang Muslim. Takwa yang berarti menjalankan segala apa yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya serta menjauhi segala yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya. Orang yang beriman akan merelakan dirinya untuk diatur oleh sistem hukum Allah dan menjadikan peraturan tersebut sebagai pedoman dalam kehidupan kesehariannya. Maka, Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujarat [49]: 15)
Orang-orang yang beriman adalah mereka yang percaya bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Mereka percaya bahwa rasulullah Muhammad Saw. adalah nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah Al-Quran. Tidak ada keraguan sedikitpun dalam diri orang beriman, sebab keragu-raguan tersebut dapat berakibat pada batalnya keimanan seseorang kepada Allah Swt. dan rasul-Nya. Mereka membuktikan keimanannya itu dengan mencintai Allah Swt. dan rasul-Nya. Menyingkirkan rasa keraguan dalam diri, serta menanamkan keyakinan yang kokoh dalam hati yang tidak tergoyahkan. Ketika keyakinan itu kuat, orang-orang yang beriman rela berjihad (berjuang) di jalan Allah Swt. dengan hartanya, dengan apa yang ada pada dirinya, pikirannya, uangnya, bahkan jasadnya di jalan Allah. Maka, orang-orang yang berbuat demikian itu hanyalah orang-orang yang benar dalam perbuatan serta perkataannya.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah; apakah orang-orang yang dimaksud oleh Allah dalam ayat tersebut dapat dengan mudah ditemukan? Jawabannya tidak! Justru yang banyak ditemukan adalah orang-orang yang mencintai keluarga dan materi yang dimilikinya melebih mencintai Allah Swt. Mereka enggan untuk berjihad (berjuang) di jalan Allah dengan apa yang mereka miliki. Padahal Allah telah memberikan ancaman kepada orang-orang yang demikian itu dalam ayatnya:
Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Q.S. At Taubah [9]: 24)
Pada kedua ayat di atas dapat terlihat bahwa mencintai adalah salah satu bukti ke-beriman-nan seseorang karena dengan mencintai dan kecintaan itulah yang akan membawa seorang Mukmin ke dalam syurga Allah Swt. seperti yang disampaikan dalam hadis rasul Saw.:
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.”(HR. Muslim)
Poin kedua yang dapat kita pahami dari hadis di atas adalah seorang mu’min dengan mu’min yang lainnya bagaikan satu jiwa. Jika dia mencintai saudaranya, maka seakan-akan dia mencintai dirinya sendiri. Hal ini menandakan bahwa Islam sangat mementingkan penyatuan hati bagi sesama penganutnya. Oleh sebab itu, dalam hadis yang lain rasulullah Saw. bersabda:
“Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain.” [Shahih Muslim No.4684]
Hadis di atas menandakan bahwa pada setiap diri seorang muslim terdapat fungsi komplementer, sehingga satu sama lain saling melengkapi. Bahkan lebih dari itu, mukmin yang satu dengan yang lain memiliki hati yang berkesatuan. Ketika hati yang satu dengan yang lainnya berkesatuan, maka ia akan dapat merasakan penderitaan yang ada pada diri saudaranya, sebagaimana hadis rasulullah Saw.
“Orang-orang mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)
Point ketiga yang dapat dipahami dari hadis di atas adalah seorang muslim dianjurkan untuk berbuat baik dengan sesamanya sebagaimana orang tersebut suka diperlakukan demikian. Hadis rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh An-Nasai mejelaskan demikian:
“…hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.” (HR. An-Nasai)
Ketiga poin di atas menjelaskan kepada kita bahwa Islam sangat fokus dalam membina persaudaraan (ukhwah Islamiyah) yang didasarkan pada kesatuan aqidah. Oleh sebab itu, perpecahan yang terjadi di berbagai belahan bumi Islam sebenarnya dapat disudahi dengan mengembalikannya kepada prinsip kesamaan aqidah, sehingga tidak boleh salah seorang beriman yang satu memerangi saudara yang beriman lainnya. Dan kesemua ini hanya bisa dilakukan dengan keinginan yang sama, yakni dengan berpegang teguh pada tali agama Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Q.S. Ali Imran [3]: 103)
Penutup
Dari pembahasan yang disampaikan di atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa Rasululah Muhammad Saw. diutus ke dunia ini, salah satunya adalah, untuk menyatukan umat manusia dalam ikatan persaudaraan, khususnya umat Islam dalam bingkai ukwah Islamiyah. Meneguhkan hati orang-orang yang beriman bahwa mereka bersaudara. Menjalin hubungan yang baik berdasarkan keimanan merupakan sebuah kewajiban yang diatur dalam firman Allah Swt. dan hadis Rasulullah Saw. Persaudaraan dan hubungan baik dapat dilakukan dengan mendasarinya pada tali agama Allah. Karena hanya dengan berpegang pada tali agama Allah, rahmat (kasih sayang) akan diperoleh. Pemilu adalah sebuah bentuk proses harus dilalui dalam demokrasi Indonesia. Keberadaannya sudah bisa dipastikan setiap limat tahun sekali. Sedangkan persaudaraan sesama Muslim bukanlah proses limat tahunan, melainkan setiap saat. Oleh karena itu, pada bulan ramadhan yang penuh dengan berkah ini, kita diharapkan mampu untuk kembali memahami betapa persaudaraan itu sangat penting bagi umat Muslim. Sebab persaudaraan tanpa pemilu bisa hidup, tapi pemilu tanpa persudaraan akan hancur.
Oleh: Ozi Setiadi, S.Sos., MA.Pol.